Previous post

Wednesday, December 28, 2022

Yang Nakal Yang Jadi Orang?

 



            Seringkali kita mendengar kalimat yang diucapkan oleh guru demikian. Pertanyaannya adalah, kenapa dulu, ketika (siswa tersebut) bersama guru, dibawah bimbingan guru, pada masa belajarnya bisa nakal. Sedangkan setelah lulus, tanpa keberadaan guru dia bisa berhasil? Apa yang salah? Apa tolok ukur nakal dan apa kaitannya dengan keberhasilan?

            Kalau nakal diartikan sebagai banyaknya tingkah yang tidak sesuai dengan keinginan guru, maka mungkin itu bukan nakal, tetapi keinginan untuk diperhatikan, dihargai atau diakui kehadirannya. Atau mungkin kebosanannya karena pelajaran tidak memancing hasrat ingin tahunya.  Kalau nakal berhubungan dengan kriminal, mungkin itu nakal sejati. Namun demikian kedua nakal itu pasti punya ‘sejarah’. Bisa jadi bermula dari pengasuhan orangtua yang tidak konsisten menerapkan nilai-nilai etika atau hasil dari pertemanan yang tidak terwarnai nilai-nilai etika. Sehingga siswa tersebut menderita split personality dalam menerapkan nilai benar dan salah baik dalam pandangan universal maupun dalam pandangan agama.

            Periode sekolah, sangat diperlukan ketelitian dan kesabaran guru, orangtua atau orang dewasa lainnya yang bertanggungjawab pada perkembangan siswa tersebut. Sayangnya bahwa sistem persekolah yang klasikal dan menuntut hanya kemampuan kognigtif membuat guru dan orangtua tidak puas ketika siswanya mendapat nilai dibawah KKM. Pengejaran nilai sesuai KKM adalah hal yang sia-sia ketika terjadi pengabaian pada minat siswa.  Akibatnya diakhir semester, guru akan berusaha memanipulasi nilai siswa dengan tugas ‘pokoknya dikerjakan’ dan siswa yang terheran-heran dengan tingginya nilai yang dia dapat. Mata rantai ‘kesesatan’ ini  terus berulang dan entah bagaimana memutusnya.

            Siswa yang berhasil, katakanlah demikian, baik dalam bentuk mendapatkan pekerjaan, atau melanjutkan ke universitas ‘bergengsi’ padahal dulunya biasa saja, atau cenderung nakal mungkin bukti dari lemahnya kepedulian pendidik, siapapun dia, selama masa sekolah. Disisi lain, belum diketahui juga apakah pekerjaan itu sesuai dengan minat dan bakatnya atau sekedar mencari penghasilan yang pada akhirnya membuat siswa tersebut tidak bisa berkembang atau bahkan stress dan akhirnya meninggalkan pekerjaannya. Atau yang melanjutkan ke universitas, celakanya, salah jurusan lagi. Yang mungkin terpaksa dijalani karena tidak punya pilihan lain atau tidak mampu melihat peluang yang lain.

            Sesungguhnya setiap manusia dilahirkan dengan potensi dan bakatnya masing-masing. Seharusnya pendidikan dapat memaksimalkan potensi terbaik siswa dan sekolah adalah sarana yang memudahkan potensi itu mewujud menjadi kebermanfaatan bagi masyarakat. Ini adalah tantangan bagi sekolah dan guru-gurunya untuk membangun suatu system pemberdayaan siswa sehingga siswa menemukan potensi terbaiknya tanpa berbenturan dengan progam yang telah ditetapkan pemerintah. Beberapa hal yang bisa dilakukan adalah mulai dari seleksi penerimaan siswa. Bukan dengan tingginya nilai. Sekali lagi tingginya nilai tidak mencerminkan minat dan bakat siswa. Bisa jadi seorang siswa punya bakat gambar tetapi karena nilainya tinggi ia bisa memilih jurusan lain, statistik misalnya, karena dianggap lebih bergengsi. Dalam hal ini, karena gengsi dia mengabaikan potensi terbaiknya.  Atau hal-lain yang memperburuk masalah tersebut.

            Seleksi berdasarkan test bakat, apabila dilakukan, setidaknya akan memberi gambaran yang lebih memadai untuk melihat kecenderungan siswa. Setelah tes bakat, wawancara bersama orangtua akan lebih memperjelas kemana siswa mesti diarahkan. Bila dua hal tersebut dilaksanakan maka berapapun nilai yang dicapai siswa di pendidikan sebelumnya tidak akan banyak pengaruh terhadap berkembangnya potensi berikutnya. Maka dengan gembira kita bisa mengatakan no one left behind tidak ada siswa yang gagal. Masa sekolah bisa dilewati dengan baik dan efektif karena sekolah bukan untuk mengejar nilai tapi benar-benar mengembangkan kemampuan terbaik mereka. Tentu saja hal ini butuh kerjasama semua pihak, sekolah, orangtua dan masyarakat.