Seringkali kita mendengar kalimat
yang diucapkan oleh guru demikian. Pertanyaannya adalah, kenapa dulu, ketika
(siswa tersebut) bersama guru, dibawah bimbingan guru, pada masa belajarnya
bisa nakal. Sedangkan setelah lulus, tanpa keberadaan guru dia bisa berhasil?
Apa yang salah? Apa tolok ukur nakal dan apa kaitannya dengan keberhasilan?
Kalau nakal diartikan sebagai
banyaknya tingkah yang tidak sesuai dengan keinginan guru, maka mungkin itu bukan
nakal, tetapi keinginan untuk diperhatikan, dihargai atau diakui kehadirannya.
Atau mungkin kebosanannya karena pelajaran tidak memancing hasrat ingin
tahunya. Kalau nakal berhubungan dengan
kriminal, mungkin itu nakal sejati. Namun demikian kedua nakal itu pasti punya ‘sejarah’.
Bisa jadi bermula dari pengasuhan orangtua yang tidak konsisten menerapkan
nilai-nilai etika atau hasil dari pertemanan yang tidak terwarnai nilai-nilai
etika. Sehingga siswa tersebut menderita split
personality dalam menerapkan nilai benar dan salah baik dalam pandangan
universal maupun dalam pandangan agama.
Periode sekolah, sangat diperlukan
ketelitian dan kesabaran guru, orangtua atau orang dewasa lainnya yang
bertanggungjawab pada perkembangan siswa tersebut. Sayangnya bahwa sistem
persekolah yang klasikal dan menuntut hanya kemampuan kognigtif membuat guru
dan orangtua tidak puas ketika siswanya mendapat nilai dibawah KKM. Pengejaran
nilai sesuai KKM adalah hal yang sia-sia ketika terjadi pengabaian pada minat
siswa. Akibatnya diakhir semester, guru
akan berusaha memanipulasi nilai siswa dengan tugas ‘pokoknya dikerjakan’ dan
siswa yang terheran-heran dengan tingginya nilai yang dia dapat. Mata rantai
‘kesesatan’ ini terus berulang dan entah
bagaimana memutusnya.
Siswa yang berhasil, katakanlah
demikian, baik dalam bentuk mendapatkan pekerjaan, atau melanjutkan ke universitas
‘bergengsi’ padahal dulunya biasa saja, atau cenderung nakal mungkin bukti dari
lemahnya kepedulian pendidik, siapapun dia, selama masa sekolah. Disisi lain,
belum diketahui juga apakah pekerjaan itu sesuai dengan minat dan bakatnya atau
sekedar mencari penghasilan yang pada akhirnya membuat siswa tersebut tidak
bisa berkembang atau bahkan stress dan akhirnya meninggalkan pekerjaannya. Atau
yang melanjutkan ke universitas, celakanya, salah jurusan lagi. Yang mungkin
terpaksa dijalani karena tidak punya pilihan lain atau tidak mampu melihat peluang
yang lain.
Sesungguhnya setiap manusia
dilahirkan dengan potensi dan bakatnya masing-masing. Seharusnya pendidikan
dapat memaksimalkan potensi terbaik siswa dan sekolah adalah sarana yang
memudahkan potensi itu mewujud menjadi kebermanfaatan bagi masyarakat. Ini
adalah tantangan bagi sekolah dan guru-gurunya untuk membangun suatu system
pemberdayaan siswa sehingga siswa menemukan potensi terbaiknya tanpa berbenturan
dengan progam yang telah ditetapkan pemerintah. Beberapa hal yang bisa
dilakukan adalah mulai dari seleksi penerimaan siswa. Bukan dengan tingginya
nilai. Sekali lagi tingginya nilai tidak mencerminkan minat dan bakat siswa.
Bisa jadi seorang siswa punya bakat gambar tetapi karena nilainya tinggi ia
bisa memilih jurusan lain, statistik misalnya, karena dianggap lebih bergengsi.
Dalam hal ini, karena gengsi dia mengabaikan potensi terbaiknya. Atau hal-lain yang memperburuk masalah
tersebut.
Seleksi berdasarkan test bakat,
apabila dilakukan, setidaknya akan memberi gambaran yang lebih memadai untuk
melihat kecenderungan siswa. Setelah tes bakat, wawancara bersama orangtua akan
lebih memperjelas kemana siswa mesti diarahkan. Bila dua hal tersebut
dilaksanakan maka berapapun nilai yang dicapai siswa di pendidikan sebelumnya
tidak akan banyak pengaruh terhadap berkembangnya potensi berikutnya. Maka dengan
gembira kita bisa mengatakan no one left behind tidak ada siswa yang
gagal. Masa sekolah bisa dilewati dengan baik dan efektif karena sekolah bukan
untuk mengejar nilai tapi benar-benar mengembangkan kemampuan terbaik mereka. Tentu
saja hal ini butuh kerjasama semua pihak, sekolah, orangtua dan masyarakat.