Previous post

Saturday, January 7, 2023

Huban

 


        Kulepas ikatan cepit rambut lalu menggeraikannya dengan menggelengkan kepalaku beberapa kali. Lalu kubiarkan helai-helai itu jatuh tidak rata menutup kepalaku sampai punggung atas.  Wajahku mendekati kaca, bola mataku terangkat ingin melihat berapa helai yang warnanya sudah memerak. Syukurlah belum seberapa.  Agak tidak suka dengan warna yang berbeda ini. Tapi alam memaksaku untuk menerima kenyataan setelah empat dekade lebih  diberi warna hitam kemerahan alias rambut jagung, sekarang bertambah satu warna lagi. Ah, ingin kucabut saja. Tapi aku takut nanti kepalaku tidak bercahaya ketika sampai akhirat. Sudahlah, kusibakkan seluruh helaian kebelakang. Mungkin aku akan ke salon besok, minta dicat warna coklat tua, atau perak grey hair sekalian seperti Reza Artamevia. Tapi… kalau aku yang mengenakan warna itu mungkin jadi sedikit menakutkan. Baiklah akan kuwarna coklat tua saja. Kira-kira habis duaratus ribu. I can afford it. Dua jam treatmen. Aduuhh, ini yang aku keberatan. Duduk dua jam sambil nyunggi lembar-lembar foil yang mengepit rambut biar pewarnanya meresap… Ahaiii… perlu dikaji ulang!

            Tapi, aku tak ingin tampil tua. Dengan huban yang mulai menjajah, aku tak lagi akan dipanggil mbak. Pasti kemana-mana aku akan dipanggil Bu, atau lebih parah lagi Nek, Mbah atau Yang. Ah… tidak suka!! Aku kan belum punya cucu, meski anakku sudah selesai kuliah. Suka atau tidak dia akan mendapatkan jodohnya dan kawin. Setahun kemudian mungkin aku akan menjadi nenek. Tapi aku kan wanita! Sudah jadi naluriku kalau aku ingin tampil muda, hangat, dan menyenangkan. Dengan rambut yang masih tebal begini, aku yakin bisa mencapainya. Tapi helai abu-abu ini betul-betul membuatku resah. Meskipun belum banyak. Apakah aku potong pendek dulu, lalu dirawat dengan minyak kemiri, yang kata orang bagus untuk mempertahankan warna hitam, tiga kali seminggu. Baru kemudian kubiarkan tumbuh. Mungkin bisa begitu. Tapi kan lamaa…! Butuh setahun mungkin atau dua tahun. Itupun kalau kutikula rambutku mau seiya sekata dengan minyak kemiri. Kalau egonya lebih besar dan memaksa tumbuh dengan warnanya sendiri? Yaaah, percuma dong! Jadi bagaimana? Pilihannya serba tidak nyaman. Baiklah. Kembali pada keputusan pertama. Di cat! Berapa lama sih cat rambut tahan? Bukannya kalau dikeramasi lama-lama hilang ya? Cari yang mahal dikitlah biar awet. Tapi kan rambut tumbuh? Akarnya pasti akan berbeda dengan batangnya, iya kan?  Hmm…

            Lalu kulihat lagi dengan seksama di depan kaca. Sama seperti tadi, kudekatkan wajahku. Bola mataku mendongak, berusaha melihat kulit kepalaku sebisa-bisanya. Tempat akar-akar rambut menumbuhkan batangnya. Berputar kiri kanan dibantu tanganku yang menarik, meluruskan, mengoyak, mengobrak-abrul, menyisirnya dengan jari dan seterusnya. Sampai kemudian kutundukkan badan dan kepala. Pada posisi itu kubalik rambut hingga jatuh tergerai ke depan. dengan gerakan cepat aku tegakkan badan sekaligus menengadahkan kepala hingga rambutku tersibak keatas dan helainya berjatuhan berantakan. Sebetulnya aku ingin menggoyang-goyang kepalaku kekiri kanan seperti rocker, tapi aku takut pusing lalu jatuh nubruk meja riasku lalu kepalaku terantuk sudut meja, berdarah, lalu jatuh, kena stroke. Ohhh…tidak! Sambil duduk, kemudian kusisir pelan-pelan rambutku dengan tetap menatap kaca. Aku terus memikirkan bagaimana caranya agar warnanya tetap hitam. Pelan-pelan kusisir, kurapikan kebelakang dan kuikat dengan gelang karet. Kupasang bando kain dan kukenakan jilbab. Jam di dinding menunjuk 4 kurang sedikit. Sudah waktunya berangkat pengajian.  


No comments:

Post a Comment