Kulepas ikatan cepit rambut lalu
menggeraikannya dengan menggelengkan kepalaku beberapa kali. Lalu kubiarkan
helai-helai itu jatuh tidak rata menutup kepalaku sampai punggung atas. Wajahku mendekati kaca, bola mataku terangkat
ingin melihat berapa helai yang warnanya sudah memerak. Syukurlah belum
seberapa. Agak tidak suka dengan warna
yang berbeda ini. Tapi alam memaksaku untuk menerima kenyataan setelah empat dekade lebih diberi warna hitam kemerahan alias rambut jagung, sekarang
bertambah satu warna lagi. Ah, ingin kucabut saja. Tapi aku takut nanti
kepalaku tidak bercahaya ketika sampai akhirat. Sudahlah, kusibakkan seluruh
helaian kebelakang. Mungkin aku akan ke salon besok, minta dicat warna coklat
tua, atau perak grey hair sekalian seperti Reza Artamevia. Tapi… kalau
aku yang mengenakan warna itu mungkin jadi sedikit menakutkan. Baiklah akan
kuwarna coklat tua saja. Kira-kira habis duaratus ribu. I can afford it.
Dua jam treatmen. Aduuhh, ini yang aku keberatan. Duduk dua jam sambil nyunggi
lembar-lembar foil yang mengepit rambut biar pewarnanya meresap… Ahaiii…
perlu dikaji ulang!
Tapi,
aku tak ingin tampil tua. Dengan huban yang mulai menjajah, aku tak lagi akan
dipanggil mbak. Pasti kemana-mana aku akan dipanggil Bu, atau lebih parah lagi
Nek, Mbah atau Yang. Ah… tidak suka!! Aku kan belum punya cucu, meski anakku
sudah selesai kuliah. Suka atau tidak dia akan mendapatkan jodohnya dan kawin.
Setahun kemudian mungkin aku akan menjadi nenek. Tapi aku kan wanita! Sudah
jadi naluriku kalau aku ingin tampil muda, hangat, dan menyenangkan. Dengan
rambut yang masih tebal begini, aku yakin bisa mencapainya. Tapi helai abu-abu
ini betul-betul membuatku resah. Meskipun belum banyak. Apakah aku potong
pendek dulu, lalu dirawat dengan minyak kemiri, yang kata orang bagus untuk
mempertahankan warna hitam, tiga kali seminggu. Baru kemudian kubiarkan tumbuh.
Mungkin bisa begitu. Tapi kan lamaa…! Butuh setahun mungkin atau dua tahun.
Itupun kalau kutikula rambutku mau seiya sekata dengan minyak kemiri. Kalau
egonya lebih besar dan memaksa tumbuh dengan warnanya sendiri? Yaaah, percuma
dong! Jadi bagaimana? Pilihannya serba tidak nyaman. Baiklah. Kembali pada
keputusan pertama. Di cat! Berapa lama sih cat rambut tahan? Bukannya kalau
dikeramasi lama-lama hilang ya? Cari yang mahal dikitlah biar awet. Tapi kan
rambut tumbuh? Akarnya pasti akan berbeda dengan batangnya, iya kan? Hmm…
Lalu
kulihat lagi dengan seksama di depan kaca. Sama seperti tadi, kudekatkan
wajahku. Bola mataku mendongak, berusaha melihat kulit kepalaku sebisa-bisanya.
Tempat akar-akar rambut menumbuhkan batangnya. Berputar kiri kanan dibantu
tanganku yang menarik, meluruskan, mengoyak, mengobrak-abrul,
menyisirnya dengan jari dan seterusnya. Sampai kemudian kutundukkan badan dan
kepala. Pada posisi itu kubalik rambut hingga jatuh tergerai ke depan. dengan
gerakan cepat aku tegakkan badan sekaligus menengadahkan kepala hingga rambutku
tersibak keatas dan helainya berjatuhan berantakan. Sebetulnya aku ingin
menggoyang-goyang kepalaku kekiri kanan seperti rocker, tapi aku takut pusing
lalu jatuh nubruk meja riasku lalu kepalaku terantuk sudut meja,
berdarah, lalu jatuh, kena stroke. Ohhh…tidak! Sambil duduk, kemudian kusisir
pelan-pelan rambutku dengan tetap menatap kaca. Aku terus memikirkan bagaimana
caranya agar warnanya tetap hitam. Pelan-pelan kusisir, kurapikan kebelakang
dan kuikat dengan gelang karet. Kupasang bando kain dan kukenakan jilbab. Jam di dinding menunjuk 4 kurang sedikit. Sudah waktunya berangkat pengajian.
No comments:
Post a Comment