Hei, bangun! gugah Aku sambil mengguncang-guncang Saya. Lihat! Matahari sudah meninggi, bukannya kau harus pergi?! Saya melenguh, menggeliatkan tubuh lalu menggelungkan raga, menyusupkan kepalanya ke lubang duka. Aku menatapnya. :Saya, katanya lembut, bangunlah! Bergeraklah! Tak elok setia memelihara duka. Di luar sana banyak cerita. Dukamu mungkin berganti suka. Tangismu akan lenyap berganti tawa.
Mata Saya perlahan terbuka. Menatap Aku tanpa bicara. Lalu duduk. Lalu berdiri. Lalu gontai berjalan. Bersandar di bibir jendela, ia melayangkan pandang. Ke langit yang membentang. Ke awan yang berarakan. Ke bumi yang makin terang. Ke pohon-pohon yang menjulang. Seekor burung terbang, terjepit diparuhnya seutas ranting turut terbang. Sekeping angin hinggap dipipi Saya yang gersang berikhtiar menyejukkannya. Namun ia dapati air mata sedang membutir, menggelincir dari sembabnya hati.
Bertanya Saya pada semua yang dipandangnya. Sampai kapankah ia bertahan, dalam duka yang berkubang-kubang. Ia terjerembab di sana berulang-ulang, begitupun ia bangkit berulang-ulang tanpa rekan. Luka menganga tak terkatakan. Bertambah perih tiap ada sentuhan. Ia seakan abadi bersahabat dengan air mata yang berjatuhan. Ia seakan abadi bersahabat dengan senyap yang bertautan. Rindu ia pada harapan yang ia gantung diatas awan.
Dari belakang Aku mendekat, memeluk raga Saya.
Pelukannya bertambah erat. Semakin erat. Saya terbuai memejamkan mata
memasrahkan dirinya. Perlahan Aku melarutkan tubuhnya ke tubuh Saya. Seakan
lembar-lembar kabut menyusup menyatu terus melarut. Merasai sunyi meski
berbinar cahaya pagi. Sampai akhirnya, Saya dan Aku benar-benar menjadi seorang
diri. Di dalam diri cinta dan benci silih berganti datang dan pergi membisingkan
hati.
No comments:
Post a Comment