Ini salah satu pengalaman saya yang menyenangkan ketika mengajar. Saya
sungguh menikmati proses belajar siswa-siswa saya.
Hari ini saya megajar kelas XI jurusan Desain Pemodelan dan Informasi
Bangunan. Materi yang saya ajarkan adalah Facts and Figures dengan sub materi Reading
and Understanding Tables. Pada Kurikulum Merdeka materi ini sengaja saya pilih
karena keterkaitannya dengan mapel produktif dimana siswa biasa melihat angka dan data
seperti RAB, ukur tanah, dll. Maka saya kaitkan untuk nantinya masuk dalam
rumusan kalimya pada pemahaman bermakna.
Saya awali kegiatan belajar dengan pertanyaan pemantik seperti,
apakah kalian pernah lihat tabel. Saya senang dengan jawaban siswa-siswa saya
yang yang bersahut-sahutan menjawab dengan benar.
Setelah itu saya beri tugas berikutnya yaitu mereka mencari apa
pengertian, guna dan jenis-jenis tabel lalu menuliskannya di word. Waktu
pengerjaannya dibatasi 45 menit. Tetapi pada kenyataanya tugas ini memerlukan 2
jam pelajaran atau sekitar 90 menit.
Setelah mereka menemukan dan paham tentang table, tugas berikutnya adalah membuat tabel tentang Family Expenses. Saya minta mereka untuk menulis apa saja belanja keluarga selama 1 minggu, jenis, jumlah dan harganya. Disinilah saya menemukan keasyikan melihat proses belajar mereka. Waktu mereka mengerjakan saya batasi 30 menit, meskipun saya tahu kenyataannya bahkan sampai 90 menit. Hai ini tidak mengapa dibandingkan dengan manfaat belajar yang akan mereka dapatkan. Ada percakapan yang mengharukan saya. Salah satu siswa laki-laki mendekati saya dengan polosnya berkata,
“Bu, saya kan tidak tinggal sama bapak ibu, jadi saya tidak tahu pengeluaran
keluarga saya.” Saya menahan tawa sekaligus haru.
“Lalu kamu tinggal sama siapa?”
“Sama Budhe.”
“Oh, ya kamu ingat-ingat saja selama di rumah, Budhe masak apa
saja? Minumnya beli atau rebus air? Ada gas atau yang lain yang harus dibeli?”
“Oh, gitu, ya. Kalau nanti yang saya tulis sedikit tidak apa-apa,
ya? Soalnya saya jarang di rumah, maksudnya jarang makan, gitu.”
“Tidak, apa-apa, tulis saja di tabel.”
“Makasih, ya Bu?”
“Ok.”
Ada juga siswa lain bertanya,
“Bu, kalau saya makannya 120 gram sekali makan, sehari 3 kali
berarti saya makannya 360 gram, ya? Padahal di rumah saya ada mama, papa, sama
kakak. 4 orrang.”
“Ya, dihitung, kalau rata-rata perorang sama seperti kamu, berarti
120 kali 4. Jadi 480 gram perhari terus kalikan seminggu.”
“Jadi, 480 kali tujuh ya, Bu?”
“Iya. Berapa?”
“3360 gram. Berarti hampir 3,5 kilo ya, Bu? Lha, beras sekilo harganya
berapa?”
Siswa lain menjawab,
“7 ribu?”
“Heh! Ndak ada! Beras tuh sekilo 11 ribu! Ya kan, Bu?” bantah yang
lain sambil meminta persetujuan saya.
“Tergantung, yang kalian makan di rumah jenis berasnya apa? Kalau
C4 super ya sekitar 15 ribuan. Coba kalian cek di google harga beras hari ini.
Jangan asal buka, ya cek juga kapan sumber informasi yang kalian baca itu
dipublis. Jangan sampai kalian baca hasil tayangan 2001 wah... pasti harganya
sudah berubah!”
“Jadi, buat beras 540 ribu perbulan ya. Cuma buat beras?” gumam
siswa itu sambil menatap tabel di laptopnya.
Lalu saya dengar diskusi, argumentasi dan konfirmasi mereka tentang harga sembako dan pengeluaran keluarga mereka. Betapa asiknya saya mendengar percakapan mereka, sambil berkeliling memeriksa progres kerja mereka.
Tugas ini ternyata membuat siswa jadi tahu pengeluaran orangtua
mereka dalam hal makan, belum yang lain. Saya sengaja tidak meminta mereka
untuk menghitung uang sekolah, listrik dan lainnya, tetapi saya percaya mereka
bisa memperkirakan sendiri seberapa banyak uang yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan keluarga. Mereka menjadi lebih hati-hati dalam meminta keperluan yang
tidak penting kepada orangtua. Hal ini penting menurut saya karena sebagian besar
siswa tidak berlatar belakang ekonomi yang kuat.
No comments:
Post a Comment