As salamu 'alaykum orang hebat se-Indonesia
Kancil yang akan saya ceritakan
bukan tokoh kancil dalam fabel “Kancil Mencuri Timun”. Tapi Pak
Kancil yang saya maksud adalah salah satu penjual di
kantin sekolah. Saya menganggapnya
rekan kerja. Bicara dengan Pak kancil seperti berendam di telaga bening.
Terlihat jelas bebatuan didasarnya dan segala yang ada didalamnya. Suaranya datar
range-nya antara nada fa sol la, tidak do rendah yang membuat
telinga begah sampai do tinggi melengking yang membuat kepala pening. Gaya
bicaranya tidak bertele-tele, lugu apa adanya. Dia bicara dari hati dengan logat Bahasa Jawanya yang khas Semarangan. Lelaki gempal
pendek itu bertutur tentang menjalani kehidupan.
“Hidup itu dijalani saja. Terima semua ketentuan. Wong semua sudah
ada yang mengatur. Jangan sampai berbuat
yang buruk.”
Diapun bertutur santai tentang kebohongan,
“Jangan bohong. Saya takut kalau bohong nanti saya dosa. Saya ajarkan anak-anak untuk jujur, ngomong
apa adanya. Jan-jane orang yang suka berbohong, ngapusi itu hidupnya
capek. Awalnya mungkin orang percaya sama omongannya, tapi kalok terbukti
bohong ya lama-lama dibiarkan saja. Apalagi kalok orangnya mbanggel
ndak mau dikasih tahu. Wis, jarke wae. Rak usah diurusi. Ngko kan
mati dhewe.”
Lain kali lelaki kepala lima itu bertutur tentang rejeki,
“Lha jadi orang kok ngoyo. Rejeki ki wis diatur gusti Allah. Ndak selalu
yang kerja keras itu pasti rejekinya jadi banyak. Kerja keras itu ikhtiar, soal
jumlah itu sudah ada aturannya. Ada orang yang kerja banting tulang, sikil
dadi sirah, sirah dadi sikil ya hasilnya segitu-segitu saja. Tapi yo tidak
boleh bermalas-malasan, nanti jadi beban orang. Wis, kabeh peparingane
Gusti piro-piro iku yo dipakai buat kelangsungan hidup. Itu saja.”
Di kesempatan berikutnya lelaki dari beberapa cucu itu bertutur tentang
amarah,
“Marah? Buat apa kalau semua sudah
ada yang mengatur. Malah membuat dosa. Marah juga ndak
bisa merubah keadaan. Tapi anehnya
banyak orang lebih suka marah. Belum mendengar sudah marah. Sudah mendengar, tidak
mencari bagaimana menanganinya dengan baik malah marah duluan. Marah pada istri
yang mendampingi atau pada anak yang jadi tanggungjawabnya, kan aneh? Saya itu
tidak mau marah-marah. Kalau ada yang butuh sesuatu ya dicarikan. Kalau tidak
ada ya dijawab tidak ada. Ndak usah mengada-ada wong marah ya ndak bisa membaikkan keadaan.”
Saya selalu menikmati tuturannya sambil menyeruput kopi instan dan gorengan.
Dua kombinasi makanan yang tidak menyehatkan tubuh bersanding dengan tuturan
yang menyehatkan jiwa.
Sehat-sehat ya, Pak Kancil.
No comments:
Post a Comment